Gaya mode busana adat ke Pura di Bali tahun 1980-an.
Pakaian Adat Ungkap Simbolik Dharma, Ini Penjelasannya
KAMEN: Dengan lipatan untuk kamen /wastra melingkar dari kiri kekanan atau melawan arah jarum jam (prasawya) karena merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah dharma.
KANCUT: Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip & sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang ke bawah sebagai simbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan simbol kejantanan.
SAPUT: Untuk persembahyangan maupun kegiatan sosial yang bersifat formal, orang Bali tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu, maka ditutupi dengan saputan (kampuh). Seperti halnya dengan pemakaian kamen, saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).
BAJU: Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi & sopan. Baju adalah pengganti saput sedada (di zaman dahulu), merupakan penutup dada & perut, yakni sekaligus simbolisasi menutup ego dan kesombongan pada diri manusia.
UDENG: Udeng simbol ngiket manah (memusatkan pikiran) yang merupakan sumber penggerak panca indria. Udeng seharusnya diikat dengan kedua ujung simpul atau muncuk udeng harus lurus ke arah atas. Mengapa? Karena itu simbol sang pemakai memantapkan sang pemakai berpikir lurus, memuja Yang Maha Sempurna.Udeng jejateran memiliki 2 bebidakan, yakni sebelah kanan lebih tinggi, & sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma. Bebidakan yang kiri simbol Prajpati Brahm, yang kanan simbol iwa Mahdewa, dan simpul (muncuk udeng) melambangkan Nryaa Wiu.
@filsafathindu
Sumber: Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran (Baliexpress)
Photo: Ferdinando Scianna @sejarahbali
Via @pesonataksubali
